Sabtu, 25 April 2009

Kisah Al -Ghazali


Seorang pemikir, bagaimanapun, tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kulturalnya. Hasil-hasil pemikiran, dalam kenyataaannya, tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi senantiasa mempunyai kaitan historis dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya dan mempunyai hubungan dengan pemikiran yang ada pada zamannya. Asumsi ini berlaku juga pada Al Ghazaly. Kaitan historis pemikirannya dengan pemikiran cara pendahulunya dinyatakan sendiri dalam Al Munqidz Min Al Dhalal dan diperoleh melalui isyaratnya didalam Tahafut al Falasifat. Untuk mengetahui hubungan pemikiran Alghazaly dengan pemikiran yang berkembang pada zamannya, perlu diketahui suasana pemikiran waktu itu dan sikapnya terhadap kenyataan itu.

Al Ghazaly hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat perkembangannya yang tinggi. Pemikiran-pemikiran tidak berhenti sebagai hasil olah budi individual, tetapi berkembang menjadi aliran-aliran dengan metode dan sistemnya masing-masing. Tingkat perkembangan ini memperlihatkan wujudnya dalam tingkat keragaman yang tinggi. Al Syahrani (w.548 H), pemikir yang sejaman dengan Al Ghazaly, menggambar-kan betapa banyaknya aliran pemikiran di dunia Islam pada waktu itu. Setiap aliran, menurut Al Ghazaly, mengklaim kebenaran pada dirinya, yang dengan sendirinya menempatkan aliran yang lain pada kedudukan yang tidak benar.

Opini umum ketika itu tentang kebenaran, kelihatannya cenderung bersifat monolitik, yang sebenarnya mempunyai akar dalam sejarah pemikiran masa lampau. Opini umum ini di topang oleh pernyataan yang diyakini sebagai ucapan yang berasal dari nabi Muhammad Saw, yang menggambarkan bahwa ummat islam akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya sesat dari kebenaran, kecuali satu golongan. Golongan atau aliran yang satu inilah yang benar, dan akhirnya symbol untuk itu menjadi ajang rebutan. Setiap pendukung aliran menganggap bahwa alirannya-lah yang dimaksud oleh hadist tersebut sebagai aliran yang benar.

Usaha Al Ghazaly dalam hal ini menjelaskan bahwa Al qur'an telah mengandung ukuran-ukuran tentang kebenaran, dan manusia telah dianugerahi alat untuk berpikir, menggunakan ukuran-ukuran tersebut ... adalah untuk membuktikan bahwa manusia tidak memerlukan imam-imam yang ma'shum lagi sesudah Nabi, sebagai sumber kebenaran. Kesimpulan tentang bathiniyyat ialah bahwa sistem pemahaman ini tidak memenuhi harapannya, karena bathiniyyat mengesampingkan daya manusia untuk menemukan kebenaran. Disini taqlid menjadi hal yang sangat penting, namun taqlid membawa kerawanan dan pertentangan.

Pada ilmu kalam, ia melihat kemandulan metodologi, kalau yang hendak dicari adalah hakikat-hakikat, sebab ilmu ini tidak dipersiapkan untuk itu. Pada filsafat, ia melihat ketidaklengkapan metodologi sehingga melahirkan inkoherensi, sebab filsafat hanya mengandalkan akal semata. Pada bathiniyyat ia melihat kekeliruan, karena dengan konsep al ta'lim, peran pengalaman, pengamatan, dan akal manusia sebagai alat-alat menemukan sendiri kebenaran dengan kitab suci sebagai pedoman, diabaikan, sehingga pengetahuan tidak diperoleh manusia dengan sendirinya.

Dalam tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut Al Ghazaly, terdiri atas dua tahap, yaitu: ilmu dan amal. Ilmu yang dimaksud disini adalah pengetahuan tentang kosep dan langkah-langkah yang harus ditempuh didalam tasawuf, seperti zuhd, faqr, tawakkul, mahabbat, makrifat, dan sebagainya. Selain itu diharuskan pula mengetahui syariat, ilmu `aqliyyat dan
keimanan yang kuat terhadap tiga dasar keimanan. yang dimaksud dengan amal adalah mengalami secara langsung konsep dan langkah yang harus di lalui tadi. Ilmu dan amal harus menyatu. Kelihatannya ,ia menganggap bahwa pada sistem pemahaman lainnya ada keterpisahan antara ilmu dan amal, khususnya pada filsafat dan ilmu kalam. Kesan ini terlihat pada penyataan Al Ghazaly bahwa para sufi adalah arbab al ahwal (orang-orang yang memilki pengalaman langsung) bukan ash hab al aqwal (orang-orang yang hanya berbicara). Dalam tasawuf pencarian hakikat tidak akan tercapai dengan pengetahuan saja, tetapi selain itu, harus dengan pengalaman langsung.

Dalam usahanya memasuki tahap amal, Al ghazaly dihadapkan kepada keharusan memilih salah satu dari dua kemungkinan : memasuki pengalaman tasawuf dengan konsekwensi meninggalkan kedudukan dan segala fasilitas kehidupan yang telah dimiliki, atau mempertahankan kedudukan dan fasilitas tersebut dengan konsekwensi tidak memasuki pengalaman tasawuf. Menurut
pengakuannya, ia mengalami kesulitan bahkan tidak dapat menentukan pilihan, sehingga ia menderita sakit selama enam bulan. Penyelesaian yang ditempuh dalam hal ini, sama dengan penyelesaian yang dilakukan ketika ia mengalami puncak kesangsian sebelumnya, yaitu pasrah dan mengakui kelemahannya. Jalan keluar datang dengan sedirinya. Tuhan memberi kemudahan
kepadanya untuk memilih kemudahan kepadanya, untuk memilih jalan tasawuf dan meninggalkan kedudukan dan fasilitas kehidupan yang dimilikinya. Iapun mengembara dengan cara hidup sufi selama lebih kurang sepuluh tahun, dari tahun 489 H sampai dengan tahun 499 H. Menurut pengakuannya, ... dalam pengalaman tasawuf itu, ia memperoleh secara langsung (Al kasyf) ilmu-ilmu yang tidak terhingga, meskipun ia tidak menunjukkan secara tegas ilmu yang diperoleh itu. Kesimpulannya, dengan cara tasawuflah pengalaman secara langsung tentang hakikat itu dapat dicapai. Sufilah yang lebih dekat kepada tuhan, akhlak merekalah yang lebih bersih, cara hidup merekalah yang lebih benar, gerak dan diam mereka lahir dari jiwa yang disinari nur al nubuwat.

Ketika ia menguji tasawuf, pada dasarnya ia tidak menghadapi persoalan tentang validitas sumber pengetahuan yang digunakan tasawuf, sebab sebelumnya ia telah yakin adanya intuisi (al dzauwq) sebagai sumber pengetahuan diatas akal. Yang menjadi persoalan adalah menyelesaikan konflik bathin antara memasuki pengalaman tasawuf dan mempertahankan kedudukan dan fasilitas kehidupan duniawinya. Yang menarik perhatian dari proses pencariannya adalah bahwa, ia kelihatannya mempunyai sikap dasar yang tetap, yaitu memandang segala sesuatu senantiasa dalam hubungannya dengan tuhan. Ketika ia mengalami puncak kesangsian akibat ketidak mampuannya membuktikan wujud sumber pengetahuan diatas akal, setelah ia meragukan indera dan akal, penyelesaian yang di tempuh nya adalah mengakui kelemahannya dan pasrah kepada Tuhan ….

Situasi ini juga pernah dialami Nabi Yusuf ketika nafsunya sudah mulai goyah oleh rayuan dan kecantikan wajah Siti Zulaiha, beliau mengakui ketidak mampuannya menerima godaan nafsunya " ('innan nafsa lammaratun bissu') dan situasi yang sangat mencekam bathinnya itu ditulis dalam QS. Yusuf: 24 " sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata dia tidak melihat burhan dari tuhannya, demikian agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian, sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang ihlash (berserah diri)"

Yusuf terbebas dari konflik bathinnya dikarenakan Allah telah mencabut rasa nafsunya yang bergejolak ….dia mengaku tidak kuat melawan nafsunya kemudian ia berserah diri kepada Allah. Saat itulah tuhan memberikan ilmu kasyaf berupa burhan (hidayah) sehingga sifat keji dan mungkar lenyap dalam hatinya. Bukan karena usaha mencegah dari perbuatan itu … akan tetapi karena
tuntunan dan inayah dari Allah Swt.

Ihya' `ulumuddin , merupakan rangkaian pengalaman bathinnya Al Ghazaly, bukan hasil dari pemikiran dan gagasannya, oleh karena itu kita tidak bisa melakukan amalan seperti yang di tulis Al Ghazali kecuali turut memasuki jalan rohani secara benar, … apalagi hanya diseminarkan dan menjadi kajian-kajian ditempat-tempat mewah …

Seperti apa yang pernah saya sajikan pada setiap artikel, ialah menempuh jalan spiritual dengan sangat sederhana dan ikhlash. Kalau jalan ini ditempuh dengan rela maka semua yang tercantum dalam ajaran islam sedikit demi sedikit akan memasuki dunia bathin kita, … dan tuntunan itu akan terus mengalir, seperti : kesabaran ketawakalan, kekhusyu'an, dan keimanan yang sangat kuat.

Ternyata Alghazaly membuktikan sendiri, bahwa memang Allah-lah yang mampu mencabut kekejian dan kemungkaran didalam hati manusia (kalian tidak akan pernah bersih selama-lamanya, akan tetapi Allah-lah yang akan membersihkan hatimu dari pebuatan keji dan mungkar. (Lihat QS Maryam; 21)

Konsep Al qur'an ini sebenarnya sangat sederhana ... hanya dengan berserah diri kepada Allah maka Allah akan membuka hati kita memberikan kefahaman dengan jalan ilham, yaitu ilham kebaikan, ilham kekhusyu'an, dan ilham keimanan, serta perbuatan-perbuatan yang baik (demi jiwa ... dan kesempurnaanya..maka Allah mengilhamkan jalan kejahatan dan jalan kebaikan .. QS.Asy syams 7-8). Sampai kini kita masih mendapat ilham kejahatan karena ..kejahatan dan kekejian serta ketidak khkusyu'an mengalir dalam bathin kita tanpa ada yang mampu menghalaunya termasuk kita ... (mudah-mudahan tidak)

Perlu diketahui bahwa Al Ghazaly sebelum menjadi sufi, adalah seorang guru besar di universitas Nizamiyah, pemikir, filosof, ahli kalam, ahli fikih dan ilmu-ilmu yang lainnya, … justru karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap bathinnya, maka beliau memutuskan mempraktekkannya dengan jalan meninggalkan seluruh aktivitasnya ... untuk beribadah kepada Allah ... (uzlah ). Setelah berhasil, beliau menulis kitab besar yang di beri nama Ihya' ulumuddin …… Al Ghazaly, pernah melakukan uzlah selama 120 hari … pada saat itulah beliau mendapatkan ilmu kasyf yang terkenal itu.

Demikian-lah kira-kira cerita Al ghazaly, agar menjadi perhatian, bahwa ilmu yang banyak belum tentu memberikan manfaat jika jiwa belum menggantungkan secara total hanya kepada Allah…..

Suatu ketika ada seorang jamaah saya (seorang ustadz yang telah mendalami ilmu agama di pesantren selama 17 tahun dan di LIPIA, Salemba), menghubungi saya melalui telepon mengabarkan putrinya sakit keras … sekaligus minta tolong untuk di do'akan agar sakitnya menjadi sembuh…kelihatannya ia panik dan cemas …saya hanya berkata singkat : "jauh mana antara jarak anda kerumah saya dengan Allah yang maha dekat lagi maha penyembuh ?" ….dia tampak terkejut dengan jawaban saya … kemudian dia sadar …dan tidak berselang lama sekitar dua jam … dia telepon lagi untuk mengabarkan bahwa anaknya sudah sembuh dari sakitnya … Rupanya ia mengadu kepada Allah atas sakit anaknya tersebut ia berdo'a sendiri dengan serius … dan Allah menjawab do'anya.

Demikianlah contoh bahwa agama itu bukan disandang untuk aksi akan tetapi untuk diamalkan...


1 komentar:

  1. saya ingin berbagi ilmu yg sedikit ini biar membuka wawasan kita semua tentang islam

    BalasHapus